ANAK SUKA BERBICARA KASAR
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak orangtua sering lupa kalau anak adalah pendengar yang aktif dan
peniru yang baik. Jika orangtua sering menggunakan kata-kata kotor, demikian
pula akan dilakukan oleh anak-anak. Anak-anak pun akan menyumpah dengan nada
suara seperti orangtua mereka, dan anak-anak pun akan menggunakan kata-kata
serapah di segala keadaan. Anak-anak sering menangkap kata-kata kotor yang
didapat atau didengar dari teman sepermainan, sama seperti anak menangkap
kata-kata kotor lain dari orangtua.
Orangtua kadang cemas jika mendengar si
anak menggunakan kata-kata kotor. Orangtua akan merasa malu, kuatir akan
disalahkan karena si anak akan mengajarkan kata-kata kotor lainnya kepada anak
lain dan akan bertanya-tanya bagaimana membuat anak akan berhenti menggunakan
kata-kata kotor tersebut. Orangtua juga kuatir sumpah serapah ini akan
menganggap bahasa seperti ini mencerminkan seluruh keluarga dan orang-orang
akan beranggapan bahasa seperti itu digunakan dan diizinkan dalam rumah. Karena
ketakutan tersebut banyak orangtua menjadi marah dan bereaksi dengan keras
ketika anak menggunakan kata-kata kotor. Sebagai orangtua juga harus
berhati-hati untuk tidak menyalahkan anak atas kecenderungan untuk meniru apa
yang didengarnya.
Jika anak hanya menggunakan kata-kata
kotor sekali-sekali, orangtua tidak perlu kuatir. Tapi jika anak sering
menggunakan kata-kata kotor, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Yang
terpenting adalah orangtua juga harus berhenti menggunakan kata-kata kotor tersebut.
Jika anak tidak lagi mendengar orangtua berkata kotor, anak mungkin akan
berhenti menggunakan juga. Sebaiknya orangtua juga menetapkan batasan-batasan
pada bahasa. Biasanya jika orangtua tidak bereaksi berlebihan dan terus
memperhatikan bahasa sendiri, anak pun akan berhenti menggunakan kata-kata
kotor.
Bila suatu ketika anak mengucapkan kata
kotor, lalu segera berhenti sesudah dilarang orangtua, ini tak jadi masalah,
sebab memang wajar seorang anak ingin mencoba mempraktikkan penggunaan kosakata
yang baru saja didengarnya. Akan tetapi, bagaimana jika bicara kotor menjadi
kebiasaan anak? Hal ini tentu sangat menjengkelkan orangtua, apalagi jika
didengar oleh orang lain, orangtua pun tercoreng mukanya. Lantas, langkah apa
yang sebaiknya ditempuh orangtua bila larangan dan peringatan yang sudah
berkali-kali diberikan tak juga digubris oleh sang anak? Berikut akan dibahas
mengapa anak suka berbicara kotor, dan apa yang bisa dilakukan orangtua untuk
mengatasinya.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Apakah penyebab anak sering
berbicara kotor ?
1.2.2 Bagaimana dampak berbicara
kotor terhadap psikologis anak ?
1.2.3 Bagaimana upaya mengatasi
anak berbicara kotor ?
1.3 Tujuan
Penelitian
1.3.1 Untuk mengetahui penyebab anak
sering berbicara kotor
1.3.2 Untuk mengetahui dampak berbicara
kotor terhadap psikologis anak
1.3.3 Untuk mengetahui upaya mengatasi
anak berbicara kotor
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Konsep Anak
Berbicara Kotor
Acap kali kita merasa takjub akan
hal-hal baru yang diserap adik-adik atau anak kita yang masih kecil dan
berseragam merah-putih dari lingkungannya. Padahal kita tidak merasa membimbing
atau mengajarkannya.
Pengetahuan, perilaku, dan kosa-kata
baru yang didapatnya sering membuat kita tercengang. Misalnya, tiba-tiba saja
si kecil merengek minta dibelikan gitar sambil mendemonstrasikan kemampuannya
bermain alat musik tersebut dengan gitar pinjaman. Atau, ketika sang ibunda
sedang berkomat-kamit menghitung belanjaan, seketika si kecil menyeletuk menyebutkan
total belanjaannya. Mungkin juga di suatu pagi yang tak anda sangka dia menyapa
anda dengan penuh gaya mengucap “good morning!”.
Sayangnya, tak semua yang didapatnya
ialah hal-hal yang baik. Ketakjuban yang dialami seketika bisa berubah menjadi
shock ketika si kecil dengan entengnya mengeluarkan kata-kata ‘kasar’ dan
‘sumpah serapah’ membawa-bawa nama hewan peliharaan, satwa kebun binatang,
kotoran, bahkan hingga ke bagian-bagian sensitif dari aurat manusia, juga
istilah hubungan badan dengan berbagai variasi kosa-kata dan bahasa. Meski,
sebagian dari kata-kata yang terlontar tersebut mungkin belum mereka pahami
artinya.
Jika merujuk ke Kamus Besar Bahasa
Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kasar, bermakna antara lain
tidak halus, bertingkah laku tidak lemah lembut, dan tidak baik buatannya.
Sesuatu yang tidak baik, sebagaimana diketahui, sering menimbulkan sejumlah
persoalan mengarah ke hal yang negatif.
Pengaruh yang diakibatkan dari
kata-kata kasar (negatif) sesungguhnya amat besar bagi perkembangan jiwa
seseorang, baik untuk yang mengucapkannya ataupun orang lain yang menjadi obyek
ucapan tersebut. Ketika kata-kata negatif dilontarkan oleh seseorang, maka
orang lain dapat berkesimpulan seperti apa watak orang tersebut. Manakala kata-kata
negatif itu ditujukan kepada diri sendiri, maka ia dapat menjadi sosok yang
kerdil, tidak ‘pede’, emosional, tidak bersemangat, tertutup, tidak punya
keyakinan untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya menyulitkannya untuk
berkembang. Mungkin ia akan berjalan di tempat sementara orang lain berlari
maju, atau malah surut ke belakang.
Fenomena mengucapkan kata-kata
‘kotor’ oleh anak sekolah ini sekarang tak sulit untuk dijumpai. Biasanya
mereka mengucapkan kata-kata ini ketika jauh dari pengawasan orangtua dan
gurunya, sedang bergerombol bersama rekan sebaya, kemudian saling ‘menyapa’
rekannya dengan bertukar kalimat ‘wasiat’ tersebut. Momen ini dapat diamati
ketika jam-jam pulang sekolah.
Kata-kata kasar ini dapat menjelma
menjadi momok yang menakutkan dan mengkhawatirkan bagi perkembangan jiwa
anak-anak, maka sudah seharusnyalah kita, sebagai bagian dari lingkungan,
mewaspadai dan mengantisipasi masalah ini. Karena memang, fenomena ini sekarang
tak sulit lagi untuk ditemui di wilayah kemayoran, daerah tempat tinggal kita
bersama.
Dalam pengawasan orangtua dan guru,
bisa jadi mereka mengeluarkan kalimat ‘baik-baik’. Namun ini tidak menjamin
kata-kata ‘kotor’ itu belum terserap oleh mereka. Orangtua biasanya baru
tersadar ketika secara tak sengaja si kecil kelepasan ngomong tatkala sedang
jengkel atau marah. Bila ternyata kata-kata ‘kotor’ tersebut diucapkan secara
sadar didepan orangtua, masalah yang dihadapi lebih serius. Karena ini berarti
ia merasa tak ada yang salah dengan mengucapkan kata tersebut, dan menganggap
lingkungan keluarga menyetujuinya, atau ia sudah tidak mempedulikan nilai yang
dianggap baik di keluarga.
Tuntutan Lingkungan
Menurut teori Erikson, anak-anak usia
sekolah, tepatnya usia 6 sampai 12 tahun melihat apa yang dituntut oleh
lingkungan, terutama dalam konteks sekolah dan sosial pertemanan. Mereka perlu
mengatasi tuntutan tersebut dengan belajar lewat interaksi yang dialaminya di
lingkungan, termasuk keluarga, sekolah, serta pertemanan.
Melalui lingkungan tersebut mereka
menangkap hal-hal apa yang ‘baik’, yang membuatnya merasa mampu/kompeten dan
diterima lingkungan. Perasaan ‘mampu’ tersebut akan meningkatkan perilaku
mereka.
Anak-anak yang mendapat dukungan dan
bimbingan terarah dari orang tua dan guru akan mengalami masa ini lebih
positif. Dukungan tersebut akan mengembangkan rasa percaya terhadap kemampuan
yang dimilikinya untuk bisa mencapai keberhasilan.
Sementara bila kurang mendapat dukungan
dan bimbingan, mereka akan merasa ragu dengan kemampuan yang dimiliki. Bagi
anak-anak yang mengalami hambatan dalam melalui tahapan ini, mereka merasa
tidak mampu menangkap tuntutan dan akan muncul rasa inferior,
perasaan tidak mampu dan tidak percaya diri. Dengan tumbuhnya rasa inferior,
ia akan mencari lingkungan lain yang memungkinkan dirinya merasa ‘mampu’. Bisa
jadi lingkungan tersebut adalah lingkungan yang menganut nilai berbeda dari apa
yang diajarkan oleh lingkungan keluarga dan sekolahnya, dan mungkin membawa
nilai-nilai negatif.
Dalam kaitannya dengan fenomena bicara
‘kotor’ pada anak-anak. Perilaku ini menjadi berkembang ketika lingkungan
pergaulan memberikan dukungan, dan dengan melakukan perilaku berbicara ‘kotor’
tersebut mereka merasa berarti, mendapat pengakuan dari teman-temannya.
Perilaku tersebut juga mungkin
terjadi pada anak-anak yang mengalami kesulitan merasa kompeten di sekolah atau
kurang mendapat pengakuan dalam keluarganya terutama orang tua, akibat
kurangnya bimbingan dan pengarahan.
Hiburan dan Tayangan
Televisi
Pengaruh lain yang memberikan andil
pada perilaku anak ialah hiburan/tontonan. Dalam hal ini, salah satu hiburan
yang sering diakses anak biasanya ialah tayangan televisi. Melalui kotak
elektronik ini anak bisa mendapatkan dan meniru aneka kosakata serta tingkah
laku, termasuk yang negatif. Maraknya tayangan yang menyampaikan kata-kata
vulgar berbau umpatan tentu saja meresahkan orangtua yang memiliki anak.
Mungkin ada yang masih ingat kasus seorang anak yang mati pada tahun 2006
karena di ‘smackdown’ temannya akibat meniru tayangan televisi?,
pengaruh yang sama dapat muncul dalam bentuk kosa-kata ‘kasar’.
Sekarang ini, bahkan acara televisi
yang dikhususkan untuk anak-anakpun, terkadang menyajikan tayangan yang
didalamnya berisi kata-kata kurang pantas untuk telinga anak. Seleksi tayangan
televisi yang akan ditonton anak perlu diberlakukan untuk mencegah dan
meminimalkan efek negatif yang timbul melalui tayangan.
Menurut hasil penelitian, ternyata ada
hubungan yang signifikan antara frekuensi menonton televisi dengan perilaku
kasar anak-anak kepada orangtua, sesama teman, guru dan orang lain. Perilaku
kasar yang dapat muncul tersebut antara lain: tidak mematuhi perintah,
menyakiti perasaan, kurang/tidak menghormati, menyakiti perasaan guru dan
temannya, berkelahi, memukul, membohongi, menakut-nakuti temannya, serta
sejumlah perilaku kasar atau kotor lainnya.
Bukan hanya tayangan televisi, lagu
yang memiliki lirik kurang pantas untuk dinyanyikan anak, aneka buku bacaan
baik cerita ataupun komik, serta video game juga mempunyai potensi pembawa
pengaruh buruk. Namun hal tersebut bukan berarti kita harus menghalangi akses
yang menjadi hiburan anak, tidak semua yang didapat dari hiburan ialah hal
buruk. Hal-hal baik seperti kreatifitas, dan rangsangan pengetahuan melalui
buku, merupakan beberapa sisi positifnya. Pada intinya yang perlu dilakukan
ialah pengawasan dan kontrol.
Dimulai dari Keluarga
Keterampilan berbicara si kecil
tentunya tidak didapat begitu saja bagai wangsit, melainkan dipelajari dari
lingkungan sekitar, yakni keluarga, sekolah, tempat bermain, disamping
faktor-faktor lainnya.
Keluarga sebagai lingkungan terdekat
mempunyai pengaruh paling besar dalam pembentukan perilaku. Terkadang secara
tidak sadar, ada pengucapan kata-kata ‘kotor’ terlontar dari anggota keluarga
lainnya yang terdengar oleh si kecil, dan ditiru olehnya.
Bila lingkungan dalam keluarga sudah
kondusif, lingkungan lainnya seperti sekolah dapat disiasati melalui kerjasama
dengan guru untuk pengawasan. Sesekali anda juga perlu menengok tempat bermain
si kecil untuk mengetahui perkembangan dan keadaan lingkungan tempatnya
bermain.
Pengarahan dalam berperilaku terhadap
si kecil di keluarga juga perlu diperhatikan oleh seluruh anggota keluarga
(remaja & dewasa) lainnya, termasuk si ‘mbok’. Karena merekalah orang-orang
yang sehari-harinya banyak berinteraksi dengan si kecil.
Membiasakan anak untuk berbicara dengan
baik perlu dilakukan sejak dini. Bila sudah terlanjur bicara ‘kotor’,
mengubahnya memang bukan sesuatu yang mudah. Namun dalam rentang usia sekolah,
taraf berpikir mereka sesungguhnya sudah mampu untuk diberikan pemahaman akan
sesuatu yang baik dan tidak baik. Hanya saja, kita perlu mengarahkan mereka
untuk bisa menilai sendiri mana lingkungan yang baik, dan mana yang tidak baik
untuk mereka.
Apapun kondisinya, pengaruh terbesar
dan pertahanan terbaik tetap berada di keluarga. Jadikan keluarga anda sebagai
pemberi pengaruh baik paling besar pada si kecil. Jangan sampai justru
lingkungan keluarga yang memberikan pengaruh dan dukungan buruk, kemudian si
kecil menularkannya di lingkungan teman-temannya.
Pada umumnya, anak usia prasekolah belum
memahami benar arti kata yang ia ucapkan. Anak juga belum memahami apakah
kata-kata itu pantas atau tidak pantas untuk diucapkan. Ketika anak mengatakan
kata kasar atau kotor, bukan bermaksud memaki, tetapi semata-mata hanya sekadar
meniru.
Psikolog, Maesera Idul Adha, Psi dari
RS Fatmawati Jakarta mengatakan perilaku suka meniru melekat pada anak usia
prasekolah. Apa yang dilihat atau didengar di lingkungannya akan ditiru anak.
Begitu ada sesuatu yang baru di lingkungan, termasuk kata kasar atau jorok,
akan cepat diadposinya. Kemampuan anak prasekolah memelajari hal baru
berkembang dengan pesar. Anak begitu bersemangat mengekplorasi berbagai hal di
lingkungan.
Tentunya orangtua tak boleh berdiam
diri. Orangtua perlu meluruskan sikap atau perilaku anak agar tidak menimbulkan
hal negatif lain. Apalagi jika anak menganggap, mengucapkan kata kasar dan
kotor adalah hal biasa saja. Berikut langkah bijak yang bisa diambil para
orangtua untuk mengatasinya:
Bila suatu ketika anak mengucapkan
kata kotor, lalu segera berhenti sesudah dilarang orangtua, ini tak jadi
masalah, sebab memang wajar seorang anak ingin mencoba mempraktikkan penggunaan
kosakata yang baru saja didengarnya. Akan tetapi, bagaimana jika bicara kotor
menjadi kebiasaan anak? Hal ini tentu sangat menjengkelkan orangtua, apalagi
jika didengar oleh orang lain, orangtua pun tercoreng mukanya. Lantas, langkah
apa yang sebaiknya ditempuh orangtua bila larangan dan peringatan yang sudah
berkali-kali diberikan tak juga digubris oleh sang anak? Berikut akan dibahas
mengapa anak suka berbicara kotor, dan apa yang bisa dilakukan orangtua untuk
mengatasinya.
Imitasi atau meniru adalah hal yang
lumrah terjadi pada anak Batita. Imitasi juga merupakan salah satu cara belajar
yang penting, terutama bagi anak usia 2 hingga 3 tahun, sehingga bila anak
tidak memiliki kemampuan untuk meniru, maka orangtua harus “aware” bahwa ada
sesuatu yang “salah” dalam perkembangannya.
2.2 Konsep Faktor
Penyebab
§
Keinginan mendapat perhatian
Begitu anak melontarkan kata kotor, anak
segera mendapat perhatian dari orangtua maupun orang dewasa lainnya, sekalipun
perhatian itu berbentuk teguran atau amarah.
§
Ada kesenangan yang diperoleh dari
mengejutkan orang lain
Ada perasaan senang yang dialami anak
saat berhasil mengejutkan orang lain. Ketika anak bisa membuat orang dewasa
shock, seketika ia merasa bisa mengungguli orang dewasa tersebut.
§
Keinginan melepaskan emosi marah dan
kecewa
Anak mungkin menggunakan kata-kata kotor
itu untuk mengekspresikan perasaan marah, kesal, atau kecewa pada orang lain.
§
Keinginan memberontak
Anak mempunyai suatu perasaan bermusuhan
terhadap orang dewasa. Selama ini ia mungkin merasa terlalu ditekan, dibatasi, atau
mungkin juga merasa diperlakukan dengan kasar, akibatnya ia jadi berkeinginan
untuk memberontak dan agresif melawan orang dewasa
§
Pandangan salah bahwa kata kotor adalah
bagian dari kedewasaan
Anak berpikir bahwa kata kotor adalah
kata yang wajar digunakan oleh orang-orang dewasa. Karena ingin merasa dewasa,
anak pun menggunakan kata kotor.
§
Keinginan diterima teman sebaya
Anak yang sudah mulai menginjak usia
remaja berjuang untuk mendapat penerimaan dari kelompok teman-teman sebayanya.
Beberapa anak mengira bahwa dengan bicara kotor, ia akan dipandang gaul,
berani, atau macho oleh teman-temannya. Anak-anak sering kali mengatakan
kata-kata kasar dan jorok karena menikmati reaksi orang-orang di sekitarnya,
seperti ia ditertawakan seolah-olah itu lucu dan menghibur, atau diperhatikan
dengan rasa kaget dan ingin tahu dari lingkungannya.
§
Mencontoh kebiasaan orang sekitar
Jika orang-orang sekitar yang ditemui
anak sehari-hari adalah orang yang tak dapat mengendalikan diri saat marah
sehingga suka memaki-maki dengan kata kotor, anak tidak belajar mengembangkan
pengendalian diri yang baik, akhirnya anak pun menjadi pribadi yang sulit
mengendalikan diri untuk tidak berkata kotor saat marah. Anak berkata kasar
atau jorok bisa juga karena ia menirunya dari teman di sekolah, sekadar iseng,
atau saat ia merasa marah dan mengetahui bahwa kata tadi bisa memancing
kekesalan orang lain, atau hanya karena sedang mempelajari kata-kata yang baru
dan senang dengan bunyi kata itu tanpa mengetahui artinya
2.3 Konsep Upaya Mengatasi
§
Mengajarkan ekspresi emosi yang lebih
tepat
Bila anak mengeluarkan kata-kata
kotor tiap kali ia marah, ajarkan cara mengekspresikan emosi yang lebih baik,
misalnya dengan berbicara asertif, yaitu menyampaikan kepada orang lain tentang
ketidaksetujuan kita terhadap perilakunya yang membuat kita merasa tidak
nyaman. Anak yang masih kecil biasanya kesulitan untuk merumuskan bagaimana
perasaannya, padahal mengenali perasaan beserta penyebab timbulnya perasaan
merupakan langkah untuk bisa mengelola emosi secara baik. Oleh karena itu,
ketika melihat anak sedang diluapi perasaan marah atau frustrasi, orangtua bisa
membantu membacakan perasaannya dan menjelaskan sebab timbulnya perasaan
tersebut. Misalnya saja saat anak marah karena diejek teman, orangtua bisa
berkata, “Alvin, kamu jengkel sekali ya, karena si Robert mengejek caramu
menyanyi di depan kelas. Kamu bisa bilang padanya bahwa kamu jengkel
ditertawakan terus, dan minta supaya ia tidak lagi mengungkit hal itu.”
§
Mengabaikan
Bila tujuan anak adalah mendapatkan
perhatian orangtua, atau mendapatkan kesenangan dari membuat orang terkejut,
cara mengabaikan ini saja mungkin sudah ampuh menghentikan kebiasaan anak
bicara kotor. Mengabaikan dilakukan dengan pura-pura tidak mendengar anak atau
tidak menunjukkan ekspresi terkejut saat mendengar kata-kata kotor anak. Jadi,
saat anak mengeluarkan kata-kata kotor, orangtua tidak perlu memelototi anak,
berteriak, atau memukul anak, melainkan cukup mengalihkan pandangan ke arah
lain atau kembali menggeluti aktivitas/kesibukan yang sedang dikerjakan.
§
Berpura-pura bodoh
Cara ini memang sepintas kelihatan
aneh, tapi kadang justru jadi cara yang ampuh. Saat anak mengeluarkan kata-kata
kotor, orangtua bertanya dengan lagak bodoh, “Eh, kata apa yang kamu bilang
tadi? Apa artinya itu? Mama nggak ngerti. Coba kasih tahu mama.” Dengan
bersandiwara pura-pura tidak mengenal kata yang digunakan anak, anak justru
jadi merasa bingung, sehingga di lain waktu, ia akan menjadi malas menggunakan
kata-kata itu.
§
Menyatakan ketidaksetujuan
Nyatakan bahwa Anda tidak senang bila
mendengar kata-kata itu keluar dari mulut anak. Beri tahu anak bahwa kata-kata
yang buruk bisa mencerminkan bahwa orang yang mengatakannya adalah orang yang
tidak sopan, atau tidak tahu aturan, sehingga jika ia menggunakannya, orang
lain bisa mengira dia anak yang tidak sopan. Bisa juga mengatakan kepada anak,
“Teman-temanmu mungkin pakai kata-kata itu, tapi kita tidak,” atau “Mama tidak
pernah marahi kamu pakai kata-kata itu, jadi mama juga tidak mau kalau kamu
pakai kata-kata itu untuk marah.”
§
Menggunakan metode hukuman
Begitu mendengar anak melontarkan
kata kotor, hukum anak dengan time out. Katakan kepada anak bahwa
karena telah mengucapkan kata yang seharusnya tidak diucapkan, ia harus meninggalkan
aktivitas yang sedang dilakukannya, pergi ke suatu tempat dan menyendiri di
situ selama waktu yang ditentukan (10 menit, misalnya). Biarkan selama waktu
itu anak terisolasi atau tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun juga. Apabila
anak tidak mau pergi secara sukarela ke tempat yang Anda tentukan, Anda bisa
mengangkatnya atau menuntunnya ke sana. Hukuman fisik seperti menampar, mencuci
mulut anak dengan sabun, atau memaksa anak memakan sambal, sebaiknya tidak
dipilih orangtua, sebab hukuman fisik justru berpotensi meningkatkan rasa
permusuhan dalam diri anak.
§
Menggunakan metode pemberian hadiah
Jika anak sudah lama terbiasa
berbicara kotor, sukar baginya untuk langsung berhenti total menggunakan
kata-kata kotor tersebut. Dalam keadaan ini, lebih baik orangtua mengadakan
perjanjian dengan anak, yaitu bahwa jika dalam waktu yang ditentukan anak tidak
berbicara kotor, anak mendapat poin, poin yang terkumpul kemudian ditukar
dengan hadiah bila jumlahnya mencapai target. Sebagai contoh, jika dalam sehari
anak tidak berbicara kotor, anak mendapat satu tanda centang yang ditulis dalam
tabel, di akhir minggu, jika jumlah tanda centang yang diperoleh anak mencapai
5, anak mendapat coklat kesukaannya. Hadiah bisa juga berupa aktivitas yang
disukai anak, misalnya bepergian ke tempat wisata, atau bisa juga berupa izin
melakukan suatu hal yang diinginkan anak, misalnya orangtua memberikan izin
untuk bergadang di akhir pekan menonton film sampai pukul 23.00 malam.
BAB 3
PEMBAHASAN
A.ANALISIS
Kasus yang akan kami angkat adalah kasus yang
dilalukan oleh M.Affan Maulana dia lahir pada 01 Mei 2009 dia anak
tunggal,Ayahnya bekerja di suatu perusahaan sedang ibunya hanya sebagai ibu
rumah tangga.
Lingkungan Affan bermain sangat lah
berpengaruh pada perkembangan bahasanya ,dya tidak mempunyai teman yang sebaya
temannya bermain adalah anak-anak usia SD klas 1-5 yang sudah mengenal
lingkungan luar dan bahasa yang dipkai sehari-hari pun juga kasar dan kotor
anak-anak sering mengucapkan kata-kata kasar seperti
“Goblok,bego,bodoh,anjing,monyet,jangkring”.Tanpa diketahui oleh ibu nya Affan
sering sekali keluar rumah dan ikut bermain bersama anak-anak tersebut dan pada
suatu ketika Affan marah adalah kata-kata “Ayah ini bodoh betul dan kata-kata
kasar lainnya” Ibunya kaget dan ditanya apakah Affan mengetahui arti kata-kata
yang ia ucapkan Affan pun menjawab tidak tau.
B. Sintesis
Dari
beberapa kasus yang dilakukan oleh affan dapat ditarik kesimpulan kalau dia
hanya terpengaruh lingkungan bermainnya tanpa dia mengetahui apa maksud
kata-kata yang telah ia ucapkan.
C. Diagnosis
Menurut
penelitian saya dan hasil bincang-bincang saya dengan ibunya saya tarik
kesimpulan bahwa ia ingin mencari perhatian dan ingin dihargai dikalangan teman
bermainnya ,bukan hanya dianggap anak bawang karna usianya masih kecil.
D.Prognosis
Langkah awal yang saya dan ibu nya lakukan dalam
menangani hal ini adalah saya ajak Affan sering dirumah menonton film-film
kartun dan film film edukasi anak yang mendidik,selain itu affan juga sangat
suka mewarnai gambar jadi dirumah disediakan gambar serta krayon buatnya
mewarnai dirumah,dalam waktu kurang lebih satu minggu dia dikurung didalam
rumah dengan fasilitas yang dia inginkan dia tidak pernah protes dan tidak
ingin main-main dengan teman bermainnya,karena saya merasa dya sudah mampu saya
memasukannya ke TPQ yang lumayan jauh dari rumahnya,dia saya masukan ke kelas
paling kecil dan teman-temannya pun seumuran dengan nya sehingga dia merasa
senang tiap kali mau berangkat mengaji ,lingkungan sosial di tempat
pengajiannya sangatlah baik dan mendukung perkembangannya,
Ditempatnya mengaji sering juga di kasih dongeng
dan filmfilm singkat tentang anak-anak sholih sehingga input dalam memory nya
cukup bagus dan melekat,
Dan Alhamdulillah dengan peralihan lingkungan dan
dukungan orang tua penuh Affan bisa berubah dari anak yang suka berkata-kata
kasar menjadi anak yang sholih dan berbahasa yang bagus kepada orang tua serta
orang disekitarnya meskipun kadang masih mengeuarkan kata-kata “bodoh” tapi
sudah benar-benar berkurang dan sangat jarang bahkan Affan selalu mengucapkan
salam sebelum dan sesudahnya dia berangkat ngaji,Bahkan setiap mau makan dan
mau tidur maupun sesudahnya dia selalu membaca do’a dengan dituntun ibu nya
Subhanalloh
BAB IV
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan peneliti, dapat diketahui bahwa, Jika orang-orang
sekitar yang ditemui anak sehari-hari adalah orang yang tak dapat mengendalikan
diri saat marah sehingga suka memaki-maki dengan kata kotor, anak tidak belajar
mengembangkan pengendalian diri yang baik, akhirnya anak pun menjadi pribadi
yang sulit mengendalikan diri untuk tidak berkata kotor saat marah. Anak
berkata kasar atau jorok bisa juga karena ia menirunya dari teman di sekolah,
sekadar iseng, atau saat ia merasa marah dan mengetahui bahwa kata tadi bisa
memancing kekesalan orang lain, atau hanya karena sedang mempelajari kata-kata
yang baru dan senang dengan bunyi kata itu tanpa mengetahui artinya.
B.SARAN
Seharusnya sebagai
orang tua atau orang dewasa harus tanggap terhadap perkembangan dan keseharian
anak apabila ada yang sekiranya aneh atau mengganjal pada anak harus segera
ditindak lanjuti agar anak bisa terkontrol dan segera ditangangani,orang tua
harus memberikan dan mendukung anak sepenuhnya untuk berubah menjadi baik,
Selain itu komunikasi orang tua dan
anak harus selalu terjaga sehingga anak merasa dirinya aman dan selalu ada yang
merhatikan sehingga anak tidak mencari perhatian diluar yang banyak pengaruh
negatifnya terhadap perkembangan anak.
DAFTAR PUSTAKA
• Ega Siregar. Buku Pintar
Balita cerdas,Bagian anak mencontoh orang tua.Jakarta :Delapratasa. 2006
• Drs. H. Abu ahmadi dan
Drs.Munawar Sholeh.Psikologi Perkembangan.Jakarta :Rineka Cipta.2005
• Drs.Save M. Dagun. Psikologi
Keluarga.Jakarta :Rineka Cipta.2002
• Dra.Moeslicatoen R., M.pd.
Metode pengajaran di taman kanak-kanak.Jakarta : Rineka Cipta.2004
• Dr.Kaertono kartini. Hygiene
Mental. Bandung : Mandar Maju.2000
• www.organisasi.org, 2008,jenis/macam tipe pola asuh orang tua pada anak
& cara mendidik/mengasuh anak yang baik.
• Mradhi.com/…Pengaruh
–pola-asuh-terhadap- perkembangan –bahasa- anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar